Dalam merencanakan keuangan, apalagi untuk jangka panjang, orang-orang seringkali memilih investasi. Di Indonesia, jenis atau bentuk investasi bisa bermacam-macam, antara lain tabungan, saham, asuransi, dan reksadana.
Selain itu, terdapat juga investasi berupa deposito dan properti. Dari kedua jenis investasi ini, menurut Corporate Secretary PT Integrated Marketing Services (IMS) Group Muljadi Suhardi, sektor properti, khususnya apartemen, yang paling menjanjikan sebagai instrumen investasi.
“Dulu orang memilih deposito karena menganggap properti tidak aman. Mereka takut saat disewakan, apartemen malah rusak dan pemilik harus bayar perbaikannya,” ujar pria yang biasa disapa Kokon ini kepada Kompas.com, Senin (2/3/2015).
Kokon melanjutkan, zaman sekarang, pemilik bisa mengecek apakah barang-barang dan kondisi apartemen sesuai saat pertama kali diterima oleh penyewa. Ia mengatakan, bahkan ada pemilik yang memfoto perabotan mulai dari furnitur sampai handel pintu untuk memastikan kondisi apartemen tersebut.
“Sekarang juga saat penyewa bayar, ada biaya deposit kerusakan. Kalau tidak ada yang rusak, uang itu dikembalikan,” jelas Kokon.
Nilai properti terus naik
Menurut perhitungannya, nilai investasi apartemen juga lebih tinggi dibandingkan deposito. Kokon mencontohkan nilai investasi apartemen dan deposito masing-masing Rp 400 juta.
Jika deposito Rp 400 juta ditambah bunga satu tahun 8 persen atau Rp 32 juta, total yang didapat dalam setahun adalah Rp 432 juta.
Maka, bila dihitung selama 15 tahun, yaitu 15 dikali 8 persen bunga kemudian dikali Rp 400 juta, akan didapat Rp 480 juta. Deposito, tidak dihitung biaya admin dan pajak. Selain itu, suku bunga deposito biasanya turun.
Hal ini berbanding terbalik dengan apartemen. Kokon menuturkan, kenaikan bahan bangunan dan tanah per tahunnya saja sudah 20 persen. Dalam 15 tahun, kenaikan bisa mencapai 300 persen. Maka, keuntungan apartemen dari sisi kenaikan bahan bangunan dan tanah, akan senilai Rp 1,2 miliar.
“Dapat disimpulkan, nilai deposito tahun ke 15 tetap Rp 400 juta, sementara nilai properti Rp 1,2 miliar. Kalau disewakan, lebih untung lagi,” sebut Kokon.
Berdasarkan perhitungan dia, nilai sewa bisa naik Rp 5 juta per tahun. Sementara jika nilai sewa adalah 40 persen dari nilai beli, maka total pendapatan dari menyewakan apartemen selama 15 tahun adalah Rp 1,125 miliar.
Dengan catatan, tambah dia, serah terima apartemen rata-rata 24 bulan. Pada masa pembangunan, artinya apartemen tidak dapat disewakan. Dengan demikian, kerugian nilai selama pembangunan di tahun pertama dan kedua adalah Rp 85 juta. Kemudian, dikurangi dekorasi dan interior rata-rata Rp 50 juta.
“Tahun ketiga, pada enam bulan pertama biasanya belum bisa disewakan karena pemasangan interior dan mencari penyewa. Maka, total kerugian Rp 25 juta,” imbuh Kokon.
Ada pun total kerugian dari nilai sewa yang seharusnya bisa didapatkan, tambah dia, adalah Rp 160 juta. Tambahan lainnya, adalah penggantian interior setiap lima tahun sesuai dengan harga bahan bangunan yang naik 100 persen. Artinya, interior pada tahun ke delapan adalah Rp 100 juta.
Kokon melanjutkan, enam bulan berikutnya apartemen tidak dapat disewakan karena renovasi dan mencari penyewa baru. Sehingga, kerugian dari nilai sewa tahun ketiga, mencapai Rp 37,5 juta. Maka, total kerugian dari penggantian interior dan nilai sewa adalah Rp 137,5 juta.
“Pada tahun ke 13, harus renovasi lagi, kerugian mencapai Rp 50 juta. Dengan asumsi, interior juga naik menjadi Rp 200 juta,” jelas Kokon.
Oleh sebab itu, menurut dia, total kerugian dari tahun pertama hingga tahun ke-15, sejumlah Rp 497,5 juta. Dari keuntungan senilai Rp 1,125 miliar, dikurangi kerugian Rp 497,5 juta, maka keuntungan bersih menjadi Rp 627,5 juta. (kompas.com)